Kita memuja dan memuji Allah, Dzat Pemberi
berbagai ni’mat terutama ni’mat islam, iman dan sunnah. Tak lupa kita
bershalawat dan salam atas kekasih Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para shahabat serta orang-orang yang senantiasa
setia menempuh jalan petunjuk beliau hingga hari kemudian.
Tak asing bagi kita Syahadat laa ilaha illah
ini. Karena kita senantiasa membacanya dalam sholat, tepatnya ketika
tasyahud. Ia merupakan salah satu dari rangkaian dua kalimat syahadat
yaitu syahaadatu an laa ilaha illallah dan syahaadatu anna muhammadar rasulullah yang dengan mengikrarkannya seorang yang kafir menjadi muslim. Syahadat ini disebut Syahadat Tauhid, karena mengandung pentauhidan Allah Jalla wa ‘Ala dalam ibadah.
Demikian pentingnya syahadat
ini, sehingga ia menjadi bagian terpenting dari rukun islam yang
pertama. Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya: ”Islam
dibangun atas lima perkara; (1) Syahadat laa ilaha illallah dan
Muhammadur rasulullah, (2) Mendirikan sholat, (3) Menunaikan Zakat, (4)
Berhaji ke Baitullah, dan (5) Puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami
kandungan makna, rukun, syarat dan konsekuensi (tuntutan) syahadat ini.
Makna Syahadat Laa ilaha illallah
Maknanya adalah meyakini
dan mengikrarkan bahwa tiada sesuatupun yang berhak diibadahi kecuali
Allah Ta’ala dengan tetap teguh di dalamnya dan melaksanakan
tuntutannya.
Sedangkan makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Inilah makna Laa ilaha illallah yang benar.
Berikut ini akan disebutkan makna-makna yang keliru ketika menafsirkan Laa ilaha illallah.
1- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa ma’buda illallah,
maknanya Tiada sesembahan selain Allah. Ini makna yang berkonsekuensi
batil, karena mengandung makna bahwa setiap sesembahan, baik yang haq
maupun yang batil adalah Allah.
2- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah, yang
bermakna Tiada pencipta selain Allah. Ini makna yang kurang, karena
hanya mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu
tauhid rububiyah sementara kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah
ini adalah tauhid ibadah yang mencakup tauhid rububiyah.
.
Andaikan benar makna Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah (Tiada pencipta selain Allah), maka tentulah Iblis laknatullah ‘alaihi dan orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam termasuk
muslim, karena mereka mengakui bahwa Allah Sang Pencipta, Penguasa,
Pemilik dan Pemelihara alam jagad raya. Allah ta’ala mengabadikan
perkataan Iblis dalam Al-Quran yang artinya: “(Iblis) berkata,”Aku lebih baik daripada dia(Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf:12). Dan Allah Ta’ala menyatakan keyakinan orang kafir di masa Nabi kita dengan firman-Nya yang artinya: “Katakanlah
(wahai Muhammad kepada orang kafir), milik siapakah bumi dan apa yang
ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?(84) Mereka akan menjawab:”Milik
Allah.” Katakanlah,”Maka apakah kamu tidak ingat?”(85). Katakanlah
:”Siapakah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara) langit yang tujuh dan Tuhan
arasy yang agung?” (86) Pasti mereka menjawab:”Allah”. Katakanlah
(kepada mereka): mengapa kamu tidak bertaqwa?” (QS.Al-Mu’minun:84-87).
Demikian pula, andaikata tafsir tersebut benar, tentulah orang-orang
kafir Quraisy dan yang semisal mereka akan menerima dakwah Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam . Namun nyatanya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyeru mereka “Ucapkanlah Laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung (di dunia dan akhirat)”(HR.Ahmad dan lainnya), mereka pun lantas membantah dengan ucapan mereka yang diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.” (QS. Shad:5).
3- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa hakima illallah
yaitu Tiada hakim (Pembuat hukum) kecuali Allah. Makna ini pun kurang
tepat dan tidak sempurna, karena masih saja mengandung sebagian dari
kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah. Jelasnya,
jika seseorang mentauhidkan Allah dalam hukum, namun bersamaan dengan
itu dia beribadah kepada selain Allah, maka tetap saja dia belum
merealisasikan tuntutan kalimat tauhid ini.
Makna yang benar dari tafsir Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu
Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Hal ini
berdasarkan Al-Quran surah Shad ayat 5 dan hadits riwayat Ahmad di atas,
di mana orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari dakwah beliau untuk mentauhidkan Allah (menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang disembah) dengan ucapan mereka; “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.”
Rukun Syahadat Laa ilaha illallah
Laa ilaha illallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid Laa ilaha dan illallah. Rinciannya sebagai berikut:
-Laa ilaha = An-Nafyu,
yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta
mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
-illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah serta beramal dengan landasan ini.
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mencerminkan 2 rukun ini. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka
barangsiapa yang mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah) dan
beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang
sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Al-Baqarah:256).
“Mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah”) adalah cerminan dari rukun An-Nafyu (Laa ilaha), sementara “Beriman kepada Allah” adalah cerminan dari rukun Al-Itsbat (illallah).
Syarat Syahadat Laa ilaha illallah
Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh orang yang melafalkan kalimat tauhid ini agar berfaedah baginya, yaitu sebagai berikut:
1- Berilmu dan memahami kandungan makna dan rukun syahadat ini
sehingga hilang kebodohan terhadap kandungan makna dan rukun kalimat
ini. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan ia mengetahui (kandungan makna) ‘laa ilaha
illallah’ (bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah), pasti masuk
surga (HR. Muslim).
2- Meyakini segala yang ditunjukkan oleh kalimat ini tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu”. (QS. Al-Hujurat:15).
3- Menerima konsekuensi (tuntutan) kalimat ini berupa beribadah hanya
kepada Allah semata dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya tanpa
adanya penolakan yang didasari keengganan, pembangkangan,dan
kesombongan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya
mereka (orang-orang kafir) apabila diucapkan kepada mereka “laa ilaha
illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) maka
merekapun menyombongkan diri(35). Dan mereka berkata,“Apakah kita akan
meninggalkan sesembahan-sesembahan kita karena penyair yang gila”.(QS. Ash-Shaffat:35-36).
4- Tunduk dan berserah diri terhadap segala tuntutan kalimat ini tanpa mengabaikannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan
barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dalam keadaan berbuat
kebajikan, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat
(kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Luqman:22)
5- Jujur dalam mengucapkan kalimat ini dengan disertai hati yang
membenarkannya. Jika seseorang mengucapkan kalimat ini namun hatinya
mengingkari dan mendustai nya, maka dia orang munafik tulen. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan diantara manusia ada yang
mengucapkan,”Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka
tidak beriman(8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beiman. Tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sementara
mereka tidak meyadari(9). Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah
menambah penyakit mereka. Dan mereka mendapat azab yang pedih karena
kedustaan yang mereka lakukan. (QS. Al-Baqarah:8-10).
6- Ikhlas dalam mengucapkannya dan memurnikan amal dari segala
kotoran syirik, bukan karena riya, atau untuk ketenaran, maupun
tujuan-tujuan duniawi. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan”laa ilaha illallah” dengan tujuan mengharap wajah Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
7- Mencintai kalimat ini dan segala tuntutannya serta mencintai orang
yang melaksanakan tuntutannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan
diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan
yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang
yang beriman sangat cinta kepada Allah.”(QS. Al-Baqarah:165). Orang
–orang yang benar dalam imannya mencintai Allah dengan cinta yang tulus
dan murni. Adapun para pelaku kesyirikan memiliki cinta ganda. Mereka
mencintai Allah sekaligus mencintai tandingan-Nya.
Konsekuensi Syahadat Laa ilaha illallah
Konsekuensi (tuntutan) syahadat ini adalah meninggalkan peribadatan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.
Dewasa ini,banyak orang yang megucapkan kalimat ini namun menyalahi
tuntutannya. Mereka menujukan ibadah (beribadah) atau memberikan
persembahan kepada makhluk, seperti menyembelih dan bernadzar untuk
kuburan dan penghuninya, meletakkan sesajian sebagai tumbal di
tempat-tempat keramat dan angker, di sekitar pepohonan, dan bebatuan,
serta bentuk-bentuk persembahan lainnya. Mereka menyakini tauhid sebagai
hal yang baru dan mereka juga mencela orang yang memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata. Mereka juga mengingkari serta memusuhi
orang-orang yang mendakwahi mereka, padahal ajakan dan dakwah yang
dilakukan orang-orang tersebut adalah sebagai wujud kecintaan, perhatian
dan kepedulian serta keprihatinan mereka terhadap saudara seagama
mereka. Mereka tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa saudaranya
disebabkan ketidaktahuan saudaranya tersebut terhadap sesuatu yang
berbahaya bagi mereka. Untuk itu,-dengan didasari kecintaan- mereka
bangkit mengingatkan saudara-saudara seagama mereka dari bahaya-bahaya
yang bisa menimpa. Sikap mereka ini merupakan bentuk implementasi dari
sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam yang maknanya: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan akhirnya, semoga Allah ta’ala menjadikan kita umat yang bersatu dan bersaudara di atas agama tauhid ini.
Wa shollallohu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin.
Penulis: Abdullah (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)
Artikel www.muslim.or.id
Posting Komentar
Orang bijak akan menulis komentar yang baik